Senin, 13 Juni 2016

Melirik Potensi Pariwisata di Pulau Penyengat

Minggu (24/4/2016) pagi, cuaca cukup cerah. Semilir angin berhembus dari laut yang sedang pasang. Ombak tak terlalu tinggi, aktivitas penyeberangan dari Tanjungpinang menuju Pulau Penyengat pun terasa nyaman.

Beberapa pekerja serta warga Tanjungpinang dan sekitarnya memanfaatkan waktu libur kerja akhir pekan untuk mengunjungi Pulau Penyengat, sebuah pulau di Kota Tanjungpinang yang kental dengan nilai sejarah dan budaya melayu. Hari itu, selain saya, juga banyak rombongan wisatawan domestik dan mancanegara berkunjung ke Pulau Penyengat.

Setiap hari libur, Pulau Penyengat memang ramai dikunjungi wisatawan. Dengan membayar Rp7.000 sekali jalan, kita dapat mencapai Pulau Penyengat dari Tanjungpinang.

Mengendarai sepeda yang saya pinjam dari seorang teman yang tinggal di Pulau Penyengat, saya berkeliling mengikuti rombongan wisatawan. Pengemudi becak motor menjadi pemandu bagi rombongan wisatawan itu, saat tiba di Pulau Penyengat untuk mengelilingi tempat-tempat bersejarah. Jasa Bentor, sebutan khas becak motor Pulau Penyengat tersebut, tarifnya Rp30.000 per jam.

Seolah tak ada kata lelah saat mengelilingi Pulau Penyengat, meski harus dengan mengayun sepeda. Rindang pepohonan menjulur di kiri dan kanan jalan, menawarkan kesejukan bagi siapapun yang ada di sekitarnya.

Puas berkeliling mengunjungi situs sejarah Kerajaan Riau Lingga di Pulau Penyengat, sejenak saya beristirahat di Balai Adat Indra Perkasa. Saya merasa ada yang masih kurang, sesuatu yang awalnya saya bayangkan akan saya jumpai di Pulau Penyengat, ternyata tidak saya temui.

Selain wisata sejarah, semestinya di Pulau Penyengat dapat pula kita temui wisata budaya. Ya, nilai-nilai budaya melayu yang kaya akan falsafah kehidupan, yang semestinya dimanfaatkan oleh warga masyarakat Pulau Penyengat sebagai pilihan destinasi wisata lain, selain tentunya destinasi wisata sejarah bagi wisatawan di pulau ini.

Saya tidak menjumpai aktivitas kegiatan warga masyarakat di Pulau Penyengat yang menggambarkan tradisi dan nilai budaya melayu sebagaimana saya baca dari buku-buku sejarah dan promosi pariwisata Kepulauan Riau. Saya tidak menjumpai aktivitas anak-anak yang bermain gasing, bermain goli atau kelereng, atau anak-anak yang ramai bermain layang-layang.

Saya juga tidak menjumpai aktivitas sanggar seni melayu, yang bisa dikunjungi wisatawan. Di mana pengunjung dapat melihat dan ikut belajar menabuh gendang dan mendendangkan lagu melayu, atau sekadar belajar berpantun.

Saya juga sempat membayangkan akan menjumpai banyak kedai makan yang menjual hidangan khas melayu. Di mana saya dapat menikmati makanannya yang bercita rasa khas, semisal asam pedas ikan sembilang atau menu makanan melayu lainnya. Memang ada pedagang yang membuka kedai makanan di sekitar balai adat, tapi yah sekedar makanan biasa yang bisa juga ditemukan di tempat-tempat lain, seperti mie instan rebus, bakso, atau soto ayam. Lagi-lagi, yah cuma sekedar makanan biasa, tidak menggambarkan khazanah cita rasa melayu yang khas. Satu-satunya kedai makan yang menjual makanan dengan cita rasa khas melayu cuma ada di dekat pelabuhan, tidak jauh dari Masjid Sultan Riau.

Andai saja di Pulau Penyengat banyak kedai makan yang menjual makanan yang bercita rasa melayu, di mana wisatawan yang datang berkunjung juga dapat sekalian belajar meracik bumbu dan memasak di tempat yang sama. Tentu wisatawan yang datang berkunjung ke Pulau Penyengat akan lebih terkesan dengan adanya nilai lain dan manfaat lebih yang dapat dibawa pulang dari Pulau Penyengat.

Kurang tepat rasanya jika tradisi dan khazanah budaya hanya dikembangkan sebatas simbol-simbol berbentuk pakaian adat, lagu, nyanyian, atau gerak tari di acara seremonial tahunan. Untuk meningkatkan pendapatan dan kualitas hidup warga tempatan dari sektor pariwisata, spirit budaya perlu ditanamkan pada jiwa setiap individu sejak dini. Tradisi budaya itu semestinya tergambar di kehidupan kita sehari-hari, tidak sekadar di acara seremonial yang digelar oleh instansi pemerintah setahun sekali.

Harus ada kelompok masyarakat yang mulai bergerak lebih gigih untuk memanfaatkan potensi pariwisata di bidang budaya di Pulau Penyengat, arahan, dan bimbingan dari instansi pemerintahan yang membidangi sektor pariwisata, dirasa perlu segera untuk digalakkan. Demikian pula dengan kebudayaan generasi pengganti, perlu diajarkan dan ditanamkan nilai-nilai budaya melayu sejak dini di sekolah formal, diberikan materi pelajaran yang terstruktur tentang sejarah dan budaya melayu, serta bagaimana strategi memanfaatkannya sebagai sumber kekuatan ekonomi kerakyatan di tanah melayu yang kita cintai ini.